Breaking News
Lagi Loading...
Thursday, 15 October 2015

Dissa Syakina Ahdanisa: Membangun Harapan Tunarungu


Bangunan sederhana tapi asri bernama Finger Talk Cafe di daerah Pamulang, Tangerang, menawarkan pengalaman berbeda. Yang berlaku di sini, tamu diminta untuk memanfaatkan tangan dan jari untuk berkomunikasi dengan pramusaji tunarungu. 



Di baliknya ada Dissa, wanita pendesain langkah berani ini. Ia justru pekerja kantoran sibuk yang tak mengenal lelah pulang pergi Singapura - Jakarta setiap weekend untuk membina Fingertalk Cafe. 

Anda memiliki usaha yang tak mudah. Mengapa secara spesifik menyasar ini? 
Sejak usia sekolah dasar saya dan adik-adik sudah ‘dikenalkan’ oleh Mama dengan kelompok penyandang disabilitas, khususnya tunarungu. Kebetulan, Mama sudah lama berkecimpung di sana. Makin banyak melihat dan ‘berkomunikasi’ dengan mereka, rasa empati pun  makin tumbuh. Sejak itulah muncul keinginan untuk mengikuti jejak Mama, yakni suatu saat nanti saya akan berjuang dan berbuat lebih banyak untuk mereka yang memiliki keterbatasan. 

Mengapa memilih kafe sebagai lahan untuk mewujudkannya? 
Selepas sekolah menengah atas, saya hijrah ke Jepang untuk melanjutkan S-1, dan Australia untuk jenjang berikutnya. Jeda libur di antaranya keduanya saya manfaatkan untuk plesir sambil berkegiatan di berbagai organisasi sosial. Tahun 2004, saya berkesempatan untuk jadi sukarelawan di Nikaragua, Amerika Tengah.

Di sana, tepatnya di kota kecil Granada, saya singgah di Café de Las Sonrisas –berarti Café of Smiles-- yang semua pegawainya adalah kaum deaf dengan pemilik seorang hearing (sebutan orang normal yang mengerti dan bisa bahasa isyarat). Kemesraan komunikasi yang terjadi antara bos dengan pegawainya itu  menginspirasi dan memicu semangat saya untuk mendirikan hal yang sama di sini. Beruntung, saya sempat ngobrol dengan pemiliknya, Tio Antonio, untuk ‘menggali’ ilmu. Dari sana saya pun bertekad, saya pasti bisa! 

Meski terinspirasi, mendirikan bisnis kafe apalagi dengan ‘kebutuhan’ khusus seperti impian Anda, pasti tak mudah. Bagaimana ceritanya?
Setelah dari Granada, saya pulang ke Indonesia dan menceritakan niat saya ke keluarga. Tekad saya, kaum tunarungu punya akses pekerjaan, dan kafe ini bisa menjadi sarana agar masyarakat umum bisa berbaur dengan mereka. Bersyukur, orang tua, terutama Mama, dan adik-adik sangat mendukung. Namun, seperti yang saya bayangkan sebelumnya bahwa menjalankan bisnis kuliner bukan hal mudah. 

Minimnya pengalaman bisnis hingga tak lagi punya koneksi dengan komunitas deaf menjadi tantangan terbesar bagi saya. Saya sempat beberapa kali bertemu dengan komunitas deaf tempat Mama bergabung. Sayang, sebagian besar dari mereka membedakan pergaulan. Bahkan ada yang menyebut antara normal dan deaf akan susah bersama. Jujur, ini membuat saya drop, ingin mundur sebelum ‘berperang’. Saya pun memutuskan untuk break sejenak dari pemikiran mendirikan kafe dan fokus melanjutkan studi. 

Lantas, bagaimana akhirnya Anda ‘kembali’ bangkit?
Lagi-lagi, saya sungguh beruntung dikelilingi orang-orang terdekat yang selalu mendukung apa pun yang baik untuk saya jalani. Selagi saya belajar di negeri orang, di sini Mama tak pernah berhenti untuk mencari dukungan. Alhamdulillah, sekembalinya saya dari Australia, saya dikenalkan oleh teman Mama kepada Ibu Pat Sulistyowati (65), ketua Gerakan Kesejahteraan Tunarungu Indonesia, yang juga tunarungu. Ibu Pat menyambut baik impian saya dan langsung menyanggupi untuk membantu saya. 

Tempat ini –bangunan rumah di samping ruang worskhop menjahit dan menyulam bagi tunarungu-- milik beliau, ‘dihibahkan’ kepada saya untuk dikelola menjadi sebuah kafe. Rasanya? Senang dan bersyukur. Semangat saya kembali tersulut. Dukungan beberapa orang rekan turut memotivasi saya. Bertahun merangkai impian hingga berbulan persiapan, kafe ini pun dibuka pada Mei 2015 lalu. 


Bagaimana proses rekruitmen karyawan? 
Lewat Ibu Pat, jalan saya untuk ‘menembus’ komunitas deaf  makin terbuka. Pendekatan yang dilakukan Ibu Pat sepertinya lebih mudah diterima. Meski begitu, bukan berarti saya bisa mendekati mereka dengan mudah. Mengajak mereka bekerja juga tidak bisa langsung, harus perlahan. Berbekal pengalaman belajar bahasa isyarat dari Mama dan Ibu Pat, saya ajak mereka ngobrol satu per satu sambil menyampaikan niat saya. 

Usaha ini membuahkan hasil. Meski hanya tiga orang yang senang untuk bergabung, yakni Wawan, Sari (asal Lombok), dan Friska (asal Bali), saya bahagia. Bahkan, ternyata Friska, yang baru saja datang dari Bali, pernah bekerja di sebuah hotel menjadi cook, jadi dialah yang paling semangat untuk bergabung dengan saya. Terbukti, saat ini pun dia yang jadi pemasak andalan kafe ini. Sedangkan yang datang belakangan, Aup, dari Bandung, dan Nurul yang juga dari Bandung, saya temukan lewat Facebook. Mereka mengirimkan sendiri data diri via Facebook ke saya, dan dengan keinginan sendiri datang ke kafe ini. 


Bagaimana 'serunya' masa pembukaan?
Di awal pembukaan kafe misalnya, mereka masih sulit bekerja dengan tenang. Karena tidak mendengar, suara berisik dari alat masak atau alat makan yang akan disajikan di meja, masih sering terjadi. Namun, perlahan semua berjalan normal. Mereka bisa bekerja dengan rapi. 

Tak jarang pula terjadi salah persepsi saat berkomunikasi. Namun, lagi-lagi saya tidak mau menyerah. Sambil bekerja di Singapura, saya tak segan mengambil kursus bahasa isyarat di Associaton for the Deaf, Singapura. Alhamdulillah, saat ini saya mulai lancar berbahasa isyarat. Namun, perjuangan saya tak serta-merta berhenti di sini. 
    
Belajar menemukan pola kerja sama yang pas dengan mereka menjadi tantangan saya saat ini. Mereka cenderung lebih sensitif ketimbang karyawan yang hearing (normal). Saat tidak nyaman dengan suatu keadaan atau pembicaraan, raut wajah mereka akan berubah dan terlihat jelas. Kalau sudah begini, saya mendekati mereka dan bicara secara personal. Intinya, sih, harus ‘pintar’ baca situasi.  

Bagaimana tanggapan lingkungan sekitar dan tamu?
Saya bersyukur, sejauh ini orang-orang di lingkungan sekitar menyambut positif kehadiran kafe. Mungkin, karena sebelumnya mereka sudah terbiasa dengan kaum deaf yang ada di tempat work shop Ibu Pat. Mereka kerap datang untuk sekadar makan siang dan mengajak ngobrol para karyawan. 
Yang agak sulit adalah tamu. Terkadang, ada tamu yang tak jadi masuk karena takut menghadapi karyawan atau justru bingung bagaimana caranya berkomunikasi. Meski begitu, puji syukur ada saja tamu yang datang dan dengan senang hati makan di sini.

Bagaimana reaksi karyawan Anda sejauh mereka bekerja? 
Mengelola bisnis kafe yang naik-turun, terkadang ramai dan terkadang tidak, ternyata cukup memengaruhi mental mereka. Kalau kafe sedang ramai, mereka akan sangat senang. Namun, ketika kafe sepi, mereka pasti langsung terlihat drop dan langsung curhat kepada saya. 


Tak bisa dipungkiri, di sini mereka sedang berjuang melawan rasa percaya dirinya. Nurul misalnya, status fresh graduate dari salah satu sekolah luar biasa (SLB) di Bandung, menggambarkan minimnya pengalaman bekerja. Ia paling mudah minder dan mengaku masih kaku menghadapi tamu. Beruntung, teman-temannya selalu menyemangati. Berbeda dengan Friska, yang terlihat lebih lincah dan ceria. 

Meski sulit dan pasti harus ekstra sabar, saya tak boleh terlihat ikut drop. Justru, saya harus jadi penyemangat mereka untuk terus giat bekerja. Satu yang saya tekankan kepada mereka, bekerja dengan hati yang ikhlas dan penuh senyum, apa pun keadaannya. Sejauh ini, trik tersebut berhasil, he… he… he….

Perasaan Anda saat ini dan harapan ke depannya?
Bersyukur, senang, bangga. Semoga kafe ini bisa eksis ke depannya dan bisa menjadi wadah bagi siapa pun, baik kaum deaf maupun hearing, untuk saling berkomunikasi dan membuka wawasan. Saya ingin tempat ini menjadi kolam harapan para tunarungu yang ingin menyalurkan bakat di bidang kuliner atau bagi yang ingin menikmati indahnya bekerja di suatu lahan yang baru.

Comments
0 Comments

0 comments:

Copyright © 2011-2015 It's Girl Time All Right Reserved | Share on: Blogger Template